#BahasaIsyarat4DILANS

Tahun lalu saya menyampaikan gagasan tentang perlunya memperluas komunikasi dengan bahasa isyarat setelah melihat langsung kawan-kawan yang hilang kemampuan berbahasanya karena stroke atau sebab lainnya.

Alhamdulillah gayung bersambut, sahabat-sahabat saya dari Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN) Kota Bandung menyanggupinya untuk berkolaborasi. Kegiatan disusun bersama DILANS-Indonesia untuk mengajak siapapun yang berminat untuk mempelajari dan mempraktekan bahasa isyarat dalam keseharian.

Pertemuan dirancang untuk 50 orang dengan empat kali pertemuan dan dilaksanakan di Cafe yang sudah menyatakan minatnya untuk menjadikan tempatnya jadi inklusif. Tidak ada diskriminasi pelayanan pada warga penyandang disabilitas dan lansia (#DILANS) dan berniat untuk memperbaiki setahap demi setahap mempermudah aksesibilitas baik ramp, toilet, menu makanan, sinage, bahkan mungkin kedepannya pelayan yang difabel.

Cafe BMC salah satu yang sudah menyepakatinya, bahkan bersedia mengirim karyawannya untuk menjadi peserta. Insha Allah, kalau seandainya semua fasilitas dan aksesibilitas terpenuhi, kami tidak sungkan untuk menyatakan Cafe ini sebagai ramah DILANS.


Praktek berbahasa isyarat bahkan digunakan di Desa Bengkala, Kecamatan Kebutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali. Puluhan penduduknya yang tuli bisu mendorong warganya berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Mudah-mudah bisa juga dipraktekkan di seluruh desa atau kawasan lainnya.

Kegiatan ini dirancang bukan untuk menggantikan kursus bahasa isyarat yang memang memerlukan komitmen waktu yang lama untuk mempelajarinya. Ada niatan yang lebih penting, menjadikan bahasa isyarat untuk jadi bagian dari keseharian kita. Berkomunikasi adalah pintu bagi siapapun untuk berbagi pengetahuan dan kesempatan, termasuk bagi warga yang terganggu dalam berkomunikasi.

Konon ada sekitar 300an bahasa isyarat berbeda di dunia. Dua diantaranya yang umum digunakan di Indonesia: Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Kami menggunakannya yang terakhir. Suatu saat mungkin Sumpah Pemuda ditambahkan juga dengan mengepresikannya sebagai, “Berbahasa Isyarat, Bahasa Isyarat Indonesia”