SEJARAH MEMANGGIL, KAMI TERPANGGIL: #DESAIN4DILANS (1)
Oleh: Farhan Helmy (Presiden DILANS Indonesia)
Hari Sabtu, 10 Juni 2023, ditengah keramaian home coming ITB, saya bersama Kang Rikrik membubuhkan tanda-tangan Nota Kesepahaman atas nama lembaga yang kami wakili masing-masing: Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia dan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.
Ini tulisan pertama dari ketiga tulisan yang saya paparkan mengawali penandatanganan, “Idea Creation and Social Incubation/Investment as A Movement: Proposal Tindak Lanjut”.
Proses menuju kesepahaman ini merupakan proses yang panjang, dialog yang intens di masing-masing lembaga. Sayapun melakukan refleksi dalam perjalanannya untuk mencari pengorganiasan apa yang cocok untuk suatu kolaborasi yang melibatkan kampus dan organisasi di luar pemerintah.
Refleksinya, seringkali pelibatan warga dan komunitas ditempatkan tidak setara, bahkan menjadi sekedar sebagai pelengkap/obyek dan berkembang menjadi kooptasi dari lembaga yang mengklaim sebagai respresentsi kepentingan.
Seringkali banyak gagasan progresif tidak tersalurkan karena birokrasi di perguruan tinggi dengan berbagai alasan. Para dosen dan peneliti ini kemudian membuat suatu asosiasi/komunitas dengan memayungi berbagai pihak yang memiliki minat di luar kampus. Para inovator ini menjadi penggerak, bahkan mengambil kepemimpinan untuk pengorganisasiannya.
Gagasan progesif dan talenta ini kemudian berpindah, bahkan kemudiaan asosiasi atau komunitas ini lebih berkembang dalam merespon soal yang dihadapi dalam keseharian masyarakat. Puncaknya terjadilah kompromi, keduanya ingin meleverage upaya terjadilah kolaborasi. Para inovator ini kemudian mengambil peran ganda, sebagai bagian dari birokrasi kampus tapi sekaligus menjadi pegiat di luar kampus.
Tidak ada yang salah. Tapi etika yang tidak terjaga seringkali akan menjadikan kampus hanya sekedar tumpangan, dan mungkin pada jangka panjang akan tergerus dan lumpuh. Inilah salah satu gejala “involusi kelembagaan”.
Di negara yang sudah maju diperlakukan secara ketat, tentunya dengan suatu skema insentif yang memungkinkan semua kebocoran dan talenta ini tidak berkembang biak. Saya mengalaminya ketika menjadi peneliti di Tokyo Institute of Technology (TITech), salah satu kampus yang terdepan dalam inovasi dan teknologi di Jepang.
Kampus tidak diperlakukan, dan memperlakukan diri sebagai obyek. Atau sekedar menjadi penguat dari suatu program, dibanding sebagai mitra yang kritis dan memberikan pencerahan dalam menyelesaikan berbagai persoalan sistemik, dan bukan mengabaikannya. Yang lebih bahaya lagi sekedar pemberi jasa penyiapan tenaga kerja.
Saya tidak setuju dengan istilah “link and match” yang populer selama ini yang menjadikan kampus sebagai sekedar pemasok tenaga kerja. Mestinya perannya harus lebih dari itu, menjadi penyumbang gagasan (idea creation) yang bisa menjadi sumber inspirasi bagi perubahan, munculnya para wirausahawan dan inovator baru untuk penciptaan lapangan kerja melalui berbagai produk dan komoditi yang terjangkau bagi warga DILANS.
Ada keseolah-olahan bahwa Industri lebih maju dan kampus tertinggal jauh. Barangkali inilah “mindset” yang harus dirubah. Kampus harus menjadi “center of excellence”, independen dalam mengartikulasikan gagasan, dan setahap demi setahap terus melembagakan keberadaanya yang sebenar-benarnya. “Pentahelix” (pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media) bukan sekedar naratif “public relations”. Bukan pula sekedar ruang kompromi, tetapi betul-betul menciptakan entitas yang memungkinkan gagasan progesif tumbuh dan berkembang biak.
Saya pernah mendialogkannya secara mendalam bersama senior saya Bang Jusman Syafii Djamal dalam empat seri dialog di kanal Progressive Insights, salah satu episodenya tentang relasi perguruan tinggi, industri dan perannya sebagai “center of excellence”, https://m.soundcloud.com/…/pendidikan-tinggi-dan…
INKUBASI SOSIAL SEBAGAI GERAKAN
Menyelesaikan persoalan warga DILANS haruslah menyeluruh, sistemik, transformasional dan tidak karikatif. Di dunia jumlah penyandang disabilitas dengan berbagai jenisnya diperkirakan lebih dari 1 Milyar orang (WHO), jumlah yang sama penduduk yang berusia diatas 60 tahun (lansia). Di Indonesia diantaranya lebih dari 50 juta orang dengan 23 juta orang penyandang disabilitas dan lebih dari 30 jutaan warga lansia (BPS).
Kelompok ini rentan terhadap terhadap berbagai disrupsi, dan diskriminasi, karena sebagian besar kemampuan fisik dan
ekonominya menurun dan resiliensinya karena berbagai isu kekinianseperti bencana, dan krisis iklim dan berbagai isu yang terkait.
Jumlah yang besar ini memerlukan percepatan dalam mengatasinya baik intervensi kebijakan, inovasi teknologi untuk
mempermudah keseharian (assistive technology), peningkatan kapasitas untuk bisa mandiri dan berdaya, maupun berbagai
terobosan untuk kesetaraan dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya lainnya.
Secara normatif kita sudah memiliki konvensi PBB tentang Human Rights dan People with Disabilities (PWD) yangditurunkan kedalam sasaran pembangunan (SDGs), “NO ONE LEFT BEHIND“ & “NOTHING ABOUT US WITHOUT US” serta turunan regulasi untuk meratifikasinya secara nasional melalui UU 13/1998 tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia, UU 39/1999 tentang HAM dan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU dan berbagai peraturan teknis pendukung lainnya.
Paradoks dengan realitas, ini salah satu contohnya soal aksesibilitas kursi. Susenas 2020 seperti yang dikutip Tempo mencatat ada sekitar 6 juta orang yang membutuhkan kursi roda saat ini di tanah air, https://difabel.tempo.co/…/6-juta-penyandang….
Karenanya pola pengorganisasian haruslah semacam gerakan melampaui sekat-sekat yang akan menghalangi tumbuh kembangny a gagasan progresif yang berpihak kepada kepentingan publik secara luas.
Dunia saat ini memperkenalkan gagasan inkubasi/investasi sosial dibanding dengan “inkubasi bisnis” yang seringkali bias terhadap pemihakan dan marginalisasi bagi warga rentan. Konsumen diangap sebagai “obyek” produksi dan reproduksi komoditas. Eksploitasi yang dimungkinkan karena tidak ada pilihan lain.
Kampus bisa menjadi hub “social incubation “, lalu memperluas gagasannya sebagai pencerah kepada berbagai pemangku kepentingan. Ini akan memberikan harapan baru bagi alternatif terhadap dominasi ekonomi alat bantu “assistive technology” yang umumnya berbasis rente melalui berbagai importasi. Ini yang sejak lama diingatkan oleh founding father kita Bung Karno soal berdikari, “Berdiri diatas kaki sendiri”. Terkesan utopis ditengah berbagai keterlanjuran yang terjadi saat ini.
TIGA AGENDA
Bagaimana kolaborasi ini diterjemahkan dalam langkah kongkrit dan berharap bisa berkembang dan membangun bukan hanya kapasitas dilembaga masing-masing?
Ada tiga agenda yang akan menjadi fokus: produksi pengetahuan, rekayasa sosial, dan pengembangan “proof of concept” berbasis kawasan. Ketiganya baik secara mandiri akan dikembangkan dan saling memperkuat. Sains dan pengetahuan disabilitas dan lansia masih harus dikembangkan.
Ketiga agenda ini kemudian akan kami terjemahkan kedalam kegiatan yang akan diselenggarakan dalam tiga tahun kedepan (2023-2025):
(1). DILATHON (DILANS Hackethon), pertemuan untuk memobilisasi gagasan dalam bentuk pertemuan intensif untuk memetakan persoalan dan solusi bagi penyandang disabilitas dan lansia dan lansia dalam bentuk desain/produk yang kongkrit, berbasis “open source” yang juga
memungkinkan munculnya banyak inkubasi bisnis/kewirausahaansosial.
(2). Sumur Bandung Inclusive District. Proof of concept kawasan sebagai contoh. Ini menyangkut banyak halsoal ruang fisik (# space), ranah ( #sphere) dan etika publik ( #public ethics) dalam tatakelola ruang bersama. DILANS sangat berkepentingan untuk membuat contoh konkret. Tentunya didalamnya tersangkut soal database spasial, urban engineering and design,
rantai pasok produksi dan reproduksi material (circular economy), keberlanjutan, krisis iklim dan resiliensi/bencana.
(3). Mobilisasi Sumberdaya, mencakup berbagai skema pendanaan yang mungkin dapatdikembangkan diluar dari yang dapat dimobilisasi baik oleh DILANS maupun FSRD, konsolidasinya berupa Trust Fund for DILANS. Mobilisasi pendanaan yang memungkinkan siapapun berpartisipasi dalam mendukung pengembangan sains, pengetahuan, dan industri. Ini juga memungkinkan ruang untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia baik di kampus melalui penelitian dan peningkatan keahlian, maupun program yang dirancang khusus untuk pengarusutamaan isu DILANS dalam penyusunan kebijakan yang inklusif.
Program pendidikan Pasca Sarjana, “Desain dan Kepemimpinan” yang dirancang FSRD ITB dan akan dimulai tahun ini adalah salah satu diantara yang juga menumbuhkan harapan bagi penyelesaian persoalan secara sistemik dan melembaga. Kita harus secara bersama menyelesaikannya dari semua lini, baik kebijakan publik, maupun berbagai aspek teknokrasi yang semuanya berakar dari “desain”. Mudah-mudahan
Bersambung …