Jadi Duta Ayah DILANS

Oleh: Farhan Helmy (Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia (DILANS) Indonesia)

DALAM puncak Hari Ayah Nasional yang dirayakan oleh Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DP3A), Pemerintah Kota Bandung, kemarin saya dinobatkan sebagai Duta Ayah DILANS (Difabel dan Lansia) bersama dengan enam ayah lainnya yang dianggap dapat menjadi penggerak dan inspirasi Sekolah Ayah dikomunitasnya masing-masing: Duta Ayah ASN(Aparat Sipil Negara), Duta Ayah Literasi, Duta Ayah Toleransi, Duta Ayah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Duta Ayah Lingkungan, dan Duta Ayah Mengaji.

Biasanya ketika suatu organisasi memilih seseorang untuk menjadi Duta, yang dipilih seorang artis atau selebritis sebagai “messenger” kepada publik. Seringkali lebih kepada suatu pencitraan. Alih-alih pesannya sampai, para selebritis inilah yang kemudian seringkali sekedar menambah Curriculum Vitaenya.

Saya sangat mengapresiasi pendekatan lain oleh Puspaga. Duta Ayah didedikasikan pada orang yang bisa menjadi penggerak secara aktif di komunitasnya. Barangkali ini akan lebih berdampak di akar rumput. Para Duta Ayah ini sekaligus juga bisa memerankan diri sebagai “Community Organizer”.

Tidak menyangka saya mendapatkannya. Kurang tahu persis kenapa saya dipilih. Konon karena keaktifan saya menjadi relawan dan sosialisasi soal parenting di komunitas penyandang disabilitas dan lansia.

Kehadiran saya sebenarnya atas undangan untuk memandu Talk Show, “Ayahku, Pahlawanku” dari dua ayah keren yang luar biasa: Andika Naliputra Wirahardja yang dikenal sebagai seniman dan pemain Grup Band legendaris “Peterpan”, dan Kang Eka Wardhana, seorang psikolog dan praktisi literasi Parenting.

Sekolah Ayah merupakan suatu inisiatif yang diperkenalkan oleh Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), DP3A, melalui Training for Trainers (TFT) yang dilakukan setahun sekali. Tidak seperti Sekolah yang memiliki suatu kurikulum yang ketat, tetapi boleh dibilang semacam forum dialog untuk berbagi pengalaman dan gagasan soal “parenting”, khususnya peran Ayah dalam keluarga.

Memang tidak ada sekolah yang secara khusus untuk menempa menjadi seorang ayah yang diharapkan mengambil peran yang setara dengan pasangannya dalam suatu keluarga. Tetapi kumpulan pengalaman dan pengetahuan kalau dikelola secara sistematik bisa menjadi sumber pembelajaran otentik bagi siapapun. Pembelajaran untuk memperbaiki kehidupan berkeluarga semua warga dari waktu ke waktu.

Soal-soal seperti bullying, KDRT, narkoba, disorientasi seksual, pornografi, kekerasan seksual pada anak adalah sejumlah persoalan yang sering diperbincangkan oleh warga seringkali tidak mendapatkan respon yang memadai dan memenuhi harapan warga. Adanya sekolah ini diharapkan untuk mengisi kekosongan itu oleh para penggagasnya.

Dua tahun lalu saya diperkenalkan oleh Kang Aden Achmad untuk ikut menjadi relawan Training for Trainers (TFT) Sekolah Ayah. Saya awalnya menolak, karena saya bukanlah seseorang yang bisa menjadi model ataupun representasi dari seorang Ayah yang dianggap baik dalam membina keluarga. Saya berpisah dengan isteri, pada saat kedua anak sayapun belum bisa dianggap sukses menjadi seseorang yang juga mempunyai sesatu yang juga bisa dirujuk sebagai suatu keberhasilan.

SETELAH mengikuti rangkaian perbincangan dan dialog baik daring dan luring soal TFT saya menyatakan siap menjadi relawan setelah saya mendiskusikannya dengan banyak kawan terutama buat keluarga penyandang disabilitas yang saat ini saya perjuangkan di Pergerakan Disabilitas dan Lansia (DILANS-Indonesia). Kesan pertama saya pada inisiatif yang luar biasa ini saya tuangkan dalam tulisan yang sudah saya posting tahun lalu,  “Sekolah Ayah: Inovasi Sosial dari Kota Bandung”

Desakan untuk mendorong kehidupan yang inklusif dalam masyarakat bukan sekedar soal sosialisasi peraturan perundangan yang memang sudah sangat memadai. Sebut saja UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, dan banyak lagi peraturan perundangan tematik yang langsung maupun tidak langsung berhubungan dan mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Pemerintah tidak bisa sendirian, berbagai pemangku kepentingan termasuk warganya harus terlibat secara aktif. Hasil Survey Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, diantara 80 negara-negara yang disurvey Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), kemampuan dasar anak Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains tidak menggembirakan. Masing-masing di peringkat 74, 73, dan 71. Secara total menempati urutan ke-74.

Dalam hemat saya tidak hanya guru yang harus dibebani dalam tugas berat ini, tetapi keluarga, khususnya ayah yang bisa mengambil peran.

PERINGATAN Hari Ayah semestinya bukan sekedar selebrasi, tetapi momentum untuk refleksi sekaligus kolaborasi untuk mempercepat kehidupan masyarakat yang inklusif di Indonesia yang kita cintai ini.

Tentunya peran saya sebagai relawan dan sekarang menjadi menjadi Duta Ayah DILANS tidaklah gampang. Saya akan menjalankan amanah ini dengan segala kemampuan yang saya punya, khususnya memobilisasi sumberdaya di Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS-Indonesia).

Terimakasih kepada Walikota Bandung, Kang Yana ‘Rase’ Mulyana dan seluruh jajarannya, khususnya DP3A, dan para sahabat saya lainnya yang sama-sama berupaya mendorong kehidupan inklusif yang sebenar-benarnya di Kota yang kita cintai ini.