#YOGA4DILANS: MEMPERSATUKAN YANG TERABAIKAN
Farhan Helmy, 23 Oktober 2022
“Seseorang mencari sesamanya karena dia mencari dirinya, dan orang lain mencari sesamanya karena dia takut kehilangan dirinya. Cintamu yang buruk terhadap dirimu membuat kesendirian menjadi penjara bagimu.” -Nietzsche
Saya ingin berbagi perenungan dan pengalaman setelah keenam kalinya menggelindingkan kegiatan Yoga untuk Penyandang Disabilitas dan Lansia (#Yoga4DILANS). Kemarin dengan peserta dan termasuk instruktur juga para pendukungnya diperkirakan sekitar 75 orang
Saya bukan seorang Yogist, walau beberapa anggota keluarga besar ibu saya menjadi instruktur Yoga sudah lebih dari 10 tahun. Umumnya tidak sebagai profesional tetapi panggilan sebagai karma. Barangkali DNA yagn mengalir untuk memberikan pengabdian sosial menjadikan masyarakat dan sekeliling menjadi sehat
Tidak gampang untuk meyakinkan dunia yang menganggap setiap apa yang dilakukan sebagai kontestasi ideologi / keyakinan dibandung dengan perannya dalam kemanusiaan. Padahal peradaban dunia ini tercipta dari suatu interaksi yang dinamik dari keragaman. Tidak hanya manusianya, bahkan alam yang ditempatinyapun semakin meyakinkan kita bahwa tidak mungkin peradaban dibandun dalam pikiran tunggal
Adik saya yang instruktur Yoga, sering mengeluh ketika banyak sahabat atau tetangganya yang muslim mempersoalkan kenapa sebagai seorang muslimah justru mempromosikan Yoga yang justru berasal dari tanah India yang notabene berasal dari praktek agama Hindu. Pertanyaannya tidak gampang, Bukan hanya di tanah air stigma itu dilekatkan, bahkan ditempat lahirnyapun demikian. Tidak ada salahnya soal ini, karena memang awalnya menjadi bagian dari ritual keagamaan.
Tetapi evolusinya sudah sedemikian rupa. Yoga moderen dipraktekkan dan diadaptasi di berbagai negara yang ditujukan dengan kesehatan tubuh maupun jiwa.
Orang tua kami lahir dari dua kultur yang berbeda. Ayah dengan pendidikan dan keluarga yang sangat kuat dalam memegang agama Islam bersatu dengan ibu yang memilki latar tradisi kuat “Sunda Wiwitan”. Keduanya telah mewariskan satu fondasi etika dalam memperlakukan diri dan Liyan, termasuk dalam beryoga.
LALU apa yang dipersatukan dalam kegiatan #Yoga4DILANS?
Saya tidak akan bosan mengatakan dalam setiap perbincangan bahwa saat ini warga penyandang disabilitas didunia sekitar 1 Milyar orang, dan meningkat setiap tahunnya (WHO), 23 juta orang diantaranya tinggal di bumi Indonesia yang kita cintai ini.
Lansia, penduduk berusia 60 tahun atau lebih, sedunia saat ini sekitar 1 Milyar, dan akan meningkat terus setiap tahunnya. Pada tahun 2030 diproyeksikan, 1 dari 6 orang adalah lansia (WHO, https://bit.ly/3ggrP7S). Di Indonesia sendiri diperkirakan sekitar 30 juta orang (BPS, 2021).
Bisa kita bayangkan bebannya bagi negara manapun kalau digabung keduanyà, sedunia sekitar 2 Milyar, di Indonesia sekitar 50 juta lebih.
Beban ini karenanya perlu diintervensi dalam suatu aksi yang masif oleh negara dimanapun, termasuk warganya. Kerumunan ini mungkin diantara jalan yang perlu dilakukan pada tataran mikro. Ini renungan dan catatan saya:
Pertama, inklusivitas dan restorasi perilaku Inilah kerumunan miniatur Indonesia yang inklusif yang mempersatukan penyandang disabilitas dan non-disabilitas yang tidak mempersoalkan latar belakang suku, agama, ras atau konstruksi sosial lainnya dalam suatu identitas. Tubuh, pikiran, dan jiwa (body, mind, soul) yang merupakan gerak yang selaras telah menjelma dalam interaksi para peserta untuk saling berbagi, menyemangati, dan mengenal sesama.
Tidak hanya itu. Kegiatan yang dilakukan dari taman ke taman memberikan pengalaman spiritual yang dalam. Relasi antara diri kita dengan sesama yang lain (Liyan) maupun alam, dan segala mahluk yang ada di atasnya bisa dirasakan kenapa eksistensi dan interaksinya harus dijaga dan dirawat.
Masing-masing saling bergantung. Bernafas untuk menghirup Oksigen (O2) memerlukan lingkungan yang sehat, demikian juga hirupan yang sama dari tumbuhan di sekeliling kita untuk menyerap Karbon Dioksida (CO2). Interaksi ini harus dalam suatu harmoni, yang satu saling menyempurnakan yang lainnya.
Tetapi seringkali yang kita lihat sebaliknya. Interaksi ini terganggu oleh perilaku berlebihan telah menyebabkan disharmoni, ketidakseimbangan yang berujung pada krisis.
Kita juga tidak merasa berterimakasih terhadap apa yang diberikan pada kita. Yang alami dirusak dengan apa yang disebut moderen. Tubuh menjadi ringkih dari pikiran dan apa yang selama ini dikonsumsi. Demikian juga empati terhadap sesama makin hari makin tergerus.