Dari Penegakan Kuota hingga Kepakaran Anggota Komite di Dewan Komisaris

Optimalisasi Peran Perusahaan Terkait Para Penyandang Disabilitas

Oleh: Jalal (Aktivis Keberlanjutan Perusahaan) & Farhan Helmy (Presiden DILANS Indonesia)

Apa respons utama dari perusahaan-perusahaan di Indonesia ketika diajak berdiskusi tentang kontribusi mereka terhadap para penyandang disabilitas? Sama dengan pemahaman umum tentang tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility atau CSR): donasi. Pemahaman yang terbatas ini bukan saja sangat menggelisahkan, namun juga patut disayangkan lantaran perusahaan menjadi tidak benar-benar bisa mewujudkan tanggung jawabnya pada level yang seharusnya.

CSR sesungguhnya berarti tanggung jawab atas dampak (positif maupun negatif) yang ditimbulkan keputusan dan tindakan perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan yang bertujuan untuk berkontribusi kepada pembangunan berkelanjutan. Kita tahu bahwa kesepakatan global tentang pembangunan berkelanjutan terformalkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) yang berlaku antara 2016-2030. Jadi, mudahnya, CSR adalah tentang bagaimana perusahaan berkontribusi pada pencapaian SDGs di berbagai tingkat.   

Ada tiga ranah kontribusi tersebut, menurut Jane Nelson, Beth Jenkins, dan Richard Gilbert dalam publikasi mereka Business and the Sustainable Development Goals: Building Blocks for Success Scale (2015). Pertama, melalui bisnis inti yang sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan. Kedua, melalui investasi sosial. Ketiga, melalui advokasi publik dan dialog kebijakan. Ketiga ranah kontribusi ini sangatlah penting untuk ditelisik lebih jauh ketika kita membicarakan tentang bagaimana seharusnya perusahaan berkontribusi secara optimal kepada para penyandang disabilitas.

Mengapa demikian? Sinyalemen Angkie Yudistia, Staf Khusus Presiden untuk urusan disabilitas yang membeberkan hanya 3.300 jiwa dari 22 juta jiwa total penyandang disabilitas di Indonesia yang bekerja secara memadai sangatlah memprihatinkan. Ini masih sangat jauh dari harapan dibanding dengan berbagai pernyataan komitmen tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas seperti Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU 19/ 2011, UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan berbagai peraturan lainnya yang lebih implementatif. Hal ini membuat setiap perusahaan—bersama-sama dengan pemangku kepentingan lainnya—perlu bersiap untuk memberikan kontribusi optimalnya. 

Dalam ranah bisnis inti, perusahaan perlu melihatnya di dalam tiga lapisan: workplace, market place, dan supply chains. Kalau kita periksa literatur tentang apa yang bisa dilakukan perusahaan terhadap penyandang disabilitas dan workplace, sesungguhnya ada banyak sekali yang bisa dilakukan. Banyak literatur menyatakan bahwa perusahaan perlu menerapkan kuota untuk penyandang disabilitas di dalam pekerjanya. Indonesia sendiri sudah memiliki regulasi yang menetapkan kuota tersebut, yaitu 1% untuk perusahaan swasta dan 2% untuk BUMN. Dan, lantaran CSR bersifat melampaui regulasi, seharusnya kebijakan perusahaan menetapkan kuota yang lebih tinggi. Kalau regulasi ini saja benar-benar ditegakkan, sesungguhnya ada cukup banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan pekerjaan, apalagi kalau perusahaan secara sukarela menetapkan kuota yang lebih tinggi. Namun, pada kenyataannya, majoritas perusahaan belum menjalankan kewajiban regulatori itu lantaran tidak mengetahuinya juga karena penegakannya minimal.

Terkadang perusahaan mengetahui kewajiban tersebut tetapi gagal memastikan kepatuhan karena kesulitan mengakomodasinya di dalam strategi dan implementasi human capital mereka. Majoritas perusahaan merasa kesulitan lantaran kondisi disabilitas fisik, sensorik, intelektual dan mental dianggap sebagai kendala untuk inklusi. Padahal di situ titik pentingnya kalau perusahaan benar-benar ingin menegakkan keadilan, kesetaraan, keragaman, dan inklusi (justice, equity, diversity, and inclusion atau JEDI), sebagaimana yang disarankan oleh Kristina Kohl dalam Driving Justice, Equity, Diversity, and Inclusion: The JEDI Journey (2022), maka kondisi yang melekat dengan disabilitas itu merupakan hal yang penting untuk diselesaikan melalui beragam tindakan afirmatif. 

Di antara tindakan afirmatif yang sangat penting adalah memastikan bahwa infrastruktur gedung dan kantor memang ramah terhadap berbagai jenis disabilitas, sehingga mereka bisa mengakses dan menavigasi aktivitas di kantor dengan lebih baik. Kalau memang dimungkinkan untuk bekerja dari rumah, atau dari tempat lain yang lebih nyaman, perusahaan bisa mengakomodasinya dengan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang memadai, misalnya. Para penyandang disabilitas mungkin sekali perlu mendapatkan pelatihan-pelatihan tertentu yang memungkinkan mereka berkontribusi secara optimal. Dan seterusnya. Jadi, memang tak bisa sekadar menegakkan kuota, apalagi mengabaikannya, melainkan perlu melihatnya dalam perspektif JEDI yang komprehensif, terutama dari sudut pandang pendekatan kapabilitas yang dipromosikan Amartya Sen. 

Banyak hal yang sangat menarik bisa dipikirkan ketika melihat bagaimana perusahaan bisa melihat penyandang disabilitas dari sudut pandang market place. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang diakui oleh Pemerintah RI adalah 4-5% dari penduduk. Itu berarti jumlahnya bisa mencapai 13,5 juta orang di Indonesia. Namun, proporsi tersebut dikritik oleh PBB di penghujung tahun lampau. Di level global, penyandang disabilitas secara rerata menempati proporsi 15% dari penduduk, atau bisa mencapai 40 juta orang bila persentase tersebut digunakan di Indonesia. Angka yang dikutip Angkie, yaitu 22 juta jiwa, berada di antara proporsi yang diakui Indonesia versus PBB. Kalau tujuan perusahaan didefinisikan sebagai memberikan solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat dan lingkungan melalui cara yang mendatangkan keuntungan, seperti yang disarankan Colin Mayer dalam Prosperity: Better Business Makes the Greater Good (2018), maka perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu melihat baragam kebutuhan yang muncul dari berbagai jenis disabilitas sebagai peluang pasar dengan memberikan solusi yang tepat.

Kebutuhan kursi roda yang handal, alat bantu dengar dan lihat, beragam gawai dengan desain khusus, atau kebutuhan sehari-hari seperti popok yang praktis dan nyaman untuk beragam kelompok umur, sangatlah besar. Dalam hal ini, memahami berapa peluang pasar yang sebenarnya, lalu mendesain produk-produk yang sesuai, adalah kunci untuk bisa membantu para penyandang disabilitas itu dengan baik. Kalau selama ini kesadaran bahwa peluang pasar dari melayani kelompok miskin, yang diperkenalkan oleh CK Prahalad dan Stuart Hart dalam The Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004) telah membuat banyak perusahaan menjadi makmur, kesadaran bahwa para penyandang disabilitas adalah pasar besar yang perlu dilayani secara sungguh-sungguh adalah hal yang juga sangat penting. Pertanyaan pentingnya adalah apakah perusahaan perlu memodifikasi produk-produknya yang sekarang untuk menangkap peluang pasar itu, atau bahkan perlu menciptakan produk-produk baru yang benar-benar menjawab kebutuhan para penyandang disabilitas?

Dari sudut pandang supply chains, perusahaan bisa mengoptimalkan dampaknya bila memiliki pemihakan kepada para penyandang disabilitas ini dengan membuat preferensi kepada mereka, termasuk memberikan preferensi sebagai kontraktor dan pemasok. Sama dengan situasi workplace, preferensi itu tidaklah memadai kalau hanya dijalankan dengan kuota saja. Banyak usaha yang dimiliki oleh penyandang disabilitas, atau memekerjakan penyandang disabilitas, bisa ditingkatkan kapasitasnya dengan bantuan legalisasi, bantuan kondisi kerja, dan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas. Investasi di awal memang dibutuhkan, namun bila perusahaan bersungguh-sungguh dalam penegakan ini, maka manfaat operasional, reputasional, juga finansial bisa diraih.

Di ranah investasi sosial, perusahaan melihat apa saja manfaat yang bisa diberikan kepada para penyandang disabilitas di masyarakat, yang bukan, atau belum, masuk sebagai pekerja atau terlibat dalam rantai pasoknya. Sama dengan seluruh upaya investasi sosial lainnya, perusahaan perlu memulainya dengan melakukan pemetaan khusus terkait penyandang disabilitas, jenis-jenis disabilitasnya, kebutuhan mereka masing-masing, dan potensi yang mereka miliki, di dalam wilayah dampak operasi perusahaan. Data ini terkadang sudah tersedia lantaran ada penelitian dari pihak-pihak lain, termasuk LSM, namun pada sebagian besar kasus datanya belumlah tersedia. Perusahaan perlu melakukannya sendiri, atau mensponsori pihak lain yang kapabel untuk melakukannya, terlebih dahulu.

Kemudian, perusahaan perlu menggabungkan pengetahuan tentang kepentingan para penyandang disabilitas itu dengan rencana pembangunan pemerintah, apa yang sudah dan masih perlu dilakukan oleh pemangku kepentingan lainnya, selain kepentingan perusahaan sendiri. Hanya bila pemahaman menyeluruh atas kondisi tersebut telah dimiliki saja maka perusahaan bisa mengambil keputusan tentang intervensi apa yang perlu dilakukan kepada para penyandang disabilitas, dengan siapa saja kerjasama bisa dilakukan, target-target apa yang perlu dicapai di masa mendatang, metode pemantauan dan evaluasi yang akan dipergunakan, hingga exit strategy-nya kelak. Kebanyakan perusahaan yang tidak melakukan pemetaan inilah yang terjebak dengan sekadar berdonasi—yang belum tentu tepat sasaran dan tepat metode intervensi.

Kalau perusahaan telah melalukan berbagai upaya yang memadai di bisnis inti dan investasi sosialnya, bisa dipastikan mereka memiliki kekayaan informasi yang luar biasa di dalam tanggung jawab sosial terhadap pemangku kepentingan khusus ini. Maka, mereka kemudian bisa meluaskan jangkauan dampak positifnya dengan melalukan advokasi dan dialog kebijakan di sphere of influence-nya. Lewat ranah ini, perusahaan bisa mengajak perusahaan lain, masyarakat sipil, dan lembaga-lembaga pemerintahan untuk bisa memerlakukan penyandang disabilitas sesuai prinsip JEDI.

Satu hal yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa perusahaan bisa menjadi lebih peka terhadap isu-isu penyandang disabilitas dan menjawabnya dengan lebih adil, setara, beragam, dan inklusif bila tata kelola perusahaan memang didesain untuk itu. Kini tata kelola pemangku kepentingan (stakeholder governance) telah diterima oleh perusahaan-perusahaan yang progresif. Penerimaan atas model tata kelola itu berarti perusahaan dalam mengambil setiap keputusannya perlu menimbang manfaat optimal untuk seluruh pemangku kepentingannya, bukan sekadar demi keuntungan pemegang saham sebagaimana yang ditekankan oleh shareholder governance

Perusahaan yang ingin memastikan manfaat optimal untuk para penyandang disabilitas—sebagai salah satu kelompok rentan—membutuhkan peningkatan sensitivitas dan kepakaran dalam isu-isu ini. Perusahaan perlu memasukkan pandangan mereka yang paham betul soal isu-isu terkait penyandang disabililitas dalam pengambilan keputusan terkait ketenagakerjaan, pasar, rantai pasok, investasi sosial, dan advokasi dan dialog kebijakan. Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan di Indonesia memastikan kepakaran  terkait penyandang disabilitas ini di berbagai bagian perusahaan, terutama di bagian human capital, penanggung jawab kinerja sosial, komite eksekutif dan komite di dewan komisaris. Kalau selama ini telah banyak desakan agar di antara anggota komite di dewan komisaris ada yang memahami perspektif gender dan masyarakat lokal, keperluan yang sama jelas juga untuk perspektif penyandang disabilitas. 



Jakarta, 1 April 2023